Doomscrolling Bisa Ganggu Mental, Begini Cara Mengatasinya

Rabu, 24 September 2025 | 11:12:14 WIB
Doomscrolling Bisa Ganggu Mental, Begini Cara Mengatasinya

JAKARTA - Di era digital, mendapatkan informasi instan dari gawai sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Namun, kebiasaan ini tidak selalu sehat, terutama ketika kita terus-menerus terpaku pada berita negatif. Fenomena ini dikenal dengan istilah doomscrolling, yakni aktivitas menggulir berita buruk tanpa henti hingga memengaruhi kondisi mental. Meski tampak sepele, kebiasaan ini dapat menimbulkan dampak serius bagi kesehatan psikis seseorang.

Psikolog Klinis, Adela Witami, menekankan bahwa membaca berita bernada negatif sebenarnya wajar. Menurutnya, manusia cenderung mencari informasi negatif sebagai bentuk antisipasi, agar bisa mempertahankan diri dari potensi bahaya. 

“Makanya kita fokus untuk mencari berita-berita yang negatif agar diri kita tidak menjadi negatif seperti yang ada di berita itu. Contohnya ada berita kerusuhan atau demo kemarin. Kita banyak doomscrolling ya di demo-demo tersebut. Itu bisa jadi adalah bentuk pertahanan diri kita,” jelas Adela.

Namun, ketika aktivitas ini berlangsung terus-menerus hingga mengganggu rutinitas, dampaknya bisa menjadi masalah bagi kesehatan mental. Fenomena doomscrolling dimulai karena otak manusia memiliki area amigdala yang memproses emosi lebih cepat dibandingkan area prefrontal cortex yang memproses logika.

Akibatnya, berita negatif secepat kilat memicu respons emosional. Seiring waktu, area logika otak mulai bekerja untuk menurunkan emosi, tetapi jika paparan berita buruk terlalu sering, keseimbangan ini terganggu.

Paparan berita negatif secara intens dapat memicu kecemasan karena rasa takut bahwa hal buruk yang muncul di berita bisa menimpa diri sendiri. Jika kecemasan berlangsung terus-menerus, aktivitas sehari-hari bisa terganggu. 

“Bisa mulai sulit kerja, bisa mulai sulit untuk bisa melakukan aktivitas dalam kehidupan, misalnya dalam komunikasi sosial dan lain-lain. Itu bisa berdampak juga ke arah sana atau bahkan apabila dia terpapar bisa pada akhirnya dalam jangka waktu tertentu dan tentunya cuma bisa didiagnosa oleh klinisi ya, dia bisa kena trauma juga sebetulnya. Malah bisa bahkan sejauh sampai kena trauma,” tutur Adela.

Fenomena aksi demonstrasi, kerusuhan, atau pengrusakan fasilitas publik juga berdampak langsung terhadap kesehatan mental publik. Banyak masyarakat mengalami stres, cemas, hingga trauma ringan setelah menyaksikan berita atau video kejadian yang mengejutkan. 

Berdasarkan pengalaman Adela dan komunitas psikolog yang membuka layanan konseling gratis, dalam dua hari mereka menerima lebih dari 160 warga yang datang mengeluhkan kondisi psikis mereka akibat terpapar berita negatif. “Misalnya dia jadi banyak menangis, terus kenapa rasanya tuh kayaknya tengkuknya tegang, dadanya sesak apabila melihat berita. Jadi banyak sekali keluhannya karena kondisi tempo hari,” jelasnya.

Meski demikian, Adela menekankan bahwa mengonsumsi berita tetap penting sebagai bentuk kewaspadaan. Kuncinya adalah regulasi konsumsi berita. Ia menyarankan untuk membuat jadwal atau jendela waktu tertentu untuk membaca berita agar tidak mengganggu keseharian. Misalnya, membatasi akses berita dari jam 08.00 hingga 18.00, kemudian membuka jendela konsumsi berita selama dua jam di malam hari.

Selain itu, penting juga untuk memperhatikan respons fisik dan emosional tubuh. Tanda-tanda kecemasan akibat doomscrolling bisa muncul dalam bentuk ketegangan otot, sesak napas, atau emosi yang mudah meledak. Dengan menyadari tanda-tanda ini, seseorang dapat mengambil jeda dari berita negatif dan melakukan aktivitas relaksasi, seperti meditasi, olahraga ringan, atau sekadar berjalan kaki di lingkungan sekitar.

Fenomena doomscrolling tidak hanya terkait dengan kondisi psikologis individu, tetapi juga berkaitan dengan desain platform media sosial. Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang memancing emosi untuk meningkatkan interaksi pengguna. Hal ini membuat orang terus-menerus menatap layar dan membaca berita negatif, sehingga risiko kecemasan meningkat.

Adela juga menekankan pentingnya dukungan sosial. Berbicara dengan teman atau keluarga mengenai perasaan yang muncul setelah terpapar berita negatif bisa membantu mengurangi stres. Dalam beberapa kasus, konseling profesional menjadi solusi terbaik untuk menangani gejala kecemasan atau trauma yang muncul akibat paparan informasi negatif yang berlebihan.

Selain strategi psikologis, disiplin digital juga menjadi kunci. Menonaktifkan notifikasi berita, membatasi waktu penggunaan media sosial, dan memilih sumber berita yang kredibel bisa membantu mengurangi efek doomscrolling. Dengan begitu, konsumsi informasi tetap sehat, dan kesehatan mental pun tetap terjaga.

Kesimpulannya, doomscrolling adalah fenomena modern yang bisa berdampak serius pada kesehatan mental jika tidak dikelola dengan baik. Mengatur waktu konsumsi berita, mengenali tanda-tanda stres, serta menjaga dukungan sosial menjadi strategi efektif untuk mengurangi risiko kecemasan. Dengan pend

Terkini

Purbaya Pastikan Dukungan APBN untuk IKN Lanjut 2026

Rabu, 24 September 2025 | 16:18:17 WIB

BI Longgarkan Suku Bunga, OECD Naikkan Proyeksi RI

Rabu, 24 September 2025 | 16:18:16 WIB

IHSG Catat Rekor Tertinggi, Analis Waspadai Potensi Koreksi

Rabu, 24 September 2025 | 16:18:14 WIB

Harga Buyback Emas Antam Naik, Simak Aturan Terbaru

Rabu, 24 September 2025 | 16:18:13 WIB