Beban Biaya Mobilitas Tinggi Perlu Solusi Transportasi Ramah Komuter

Selasa, 30 September 2025 | 10:00:53 WIB
Beban Biaya Mobilitas Tinggi Perlu Solusi Transportasi Ramah Komuter

JAKARTA - Mobilitas masyarakat perkotaan, terutama di wilayah Jabodetabek, kini dihadapkan pada tantangan besar.

Budaya komuter yang semakin melekat dalam kehidupan sehari-hari membuat pengeluaran transportasi melonjak signifikan. Kondisi ini secara langsung menggerus daya beli serta menurunkan kualitas hidup.

Beban biaya transportasi bukan hanya persoalan individu, tetapi juga ancaman bagi keberlanjutan visi Indonesia Emas 2045. Tanpa perbaikan sistem transportasi publik yang memadai, masyarakat akan terus terbebani secara finansial sekaligus sosial.

Data Badan Pusat Statistik mencatat, masyarakat Indonesia mengalokasikan hingga 12,46 persen dari pendapatan untuk biaya transportasi. Angka ini jelas lebih tinggi dari standar ideal yang ditetapkan World Bank, yaitu maksimal 10 persen dari total penghasilan.

Biaya Tinggi yang Membebani Komuter

Di Bekasi, masyarakat mengeluarkan rata-rata Rp1,9 juta per bulan hanya untuk biaya transportasi. Depok berada di posisi kedua dengan pengeluaran mencapai Rp1,8 juta per orang setiap bulannya. Besarnya angka tersebut menandakan bahwa mobilitas harian menyedot porsi signifikan dari penghasilan.

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI, Djoko Setijowarno, menilai akar persoalan ada pada ketiadaan akses transportasi umum dari kawasan perumahan. Menurutnya, titik awal perjalanan selalu dimulai dari rumah, sehingga ketersediaan transportasi publik di perumahan seharusnya menjadi hal mendasar.

Tanpa adanya fasilitas tersebut, para komuter terpaksa mengandalkan kendaraan pribadi. Akibatnya, biaya transportasi dapat menggerus 25 hingga 30 persen dari penghasilan bulanan mereka. Generasi muda, khususnya Gen Z, bahkan disebut memiliki porsi terbesar pengeluaran di sektor transportasi.

Membandingkan Kebijakan Masa Lalu dan Kini

Djoko mengingatkan kembali kebijakan era Presiden Soeharto, ketika setiap pengembang perumahan diwajibkan menyediakan sarana transportasi umum. Kebijakan itu membuat masyarakat tidak harus segera membeli kendaraan pribadi setelah membeli rumah. Banyak orang baru bisa membeli kendaraan setelah cicilan rumah selesai 10 hingga 15 tahun kemudian.

Kondisi saat ini justru berbeda. Minimnya sarana transportasi membuat masyarakat merasa wajib memiliki kendaraan pribadi begitu membeli rumah, terutama mereka yang bekerja di Jakarta. Djoko mencontohkan, meski berpenghasilan Rp10 juta, seorang pekerja di Jakarta tetap kewalahan akibat biaya transportasi yang tinggi.

Selain itu, ia mengkritisi Program 3 Juta Rumah yang sebagian besar mangkrak. Salah satu penyebab utama adalah tidak tersedianya akses transportasi umum. Tanpa perencanaan yang menyeluruh, program perumahan rakyat sulit berjalan maksimal.

Solusi Transportasi untuk Masa Depan Lebih Baik

Djoko menekankan bahwa masalah transportasi bukan sekadar persoalan anggaran, melainkan kemauan politik dari para pemimpin. Ia menyoroti masih rendahnya alokasi anggaran transportasi di tingkat nasional, yang bahkan tidak masuk 10 besar prioritas kementerian.

Hal ini dinilai menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kebutuhan mobilitas masyarakat. Salah satu solusi praktis yang ia ajukan adalah memberikan insentif kepada angkutan kota.

Dengan mengganti bahan bakar angkot, misalnya, layanan transportasi perumahan ke stasiun dapat disediakan dengan tarif terjangkau bahkan gratis. Kebijakan sederhana ini diyakini mampu meringankan beban masyarakat dalam waktu singkat.

Djoko menegaskan, pembenahan sistem transportasi dapat diwujudkan dalam kurun setahun apabila ada komitmen serius dari pemimpin daerah maupun pusat. Bagi masyarakat komuter, langkah ini akan menjadi harapan baru menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan produktif.

Terkini